Sabtu, Juni 27, 2009

Kemagisan Cerita tentang Pati

Kemagisan Cerita tentang Pati

GELAR Kolosal Ketoprak Gagrak Anyar, ternyata bukan hanya banyaknya jumlah pemain yang dilibatkan. Dari segi penonton yang meluangkan waktu pada Sabtu malam pekan lalu (4/8), jumlahnya mencapai ribuan. Alun-alun Simpanglima Pati malam itu berubah menjadi lautan manusia.

Hal tersebut membuktikan bahwa penggemar kesenian tradisional untuk ketoprak benar-benar telah mengakar di sebagian besar warga Pati, yang jumlah penduduknya mencapai 1,2 juta lebih. Karena itu, tak mengherankan jika grup-grup ketoprak pun tumbuh subur di daerah ini.

Menurut Ketua Dewan Kesenian Pati, Drs Erry Nurbaya, saat ini ada 39 grup ketoprak yang masih bisa bertahan lantaran mendapat "subsidi" dari masyarakat.

Maksudnya, grup-grup kesenian tradional tersebut tetap bisa menunjukkan eksistensinya, karena sering mendapat order untuk pentas dalam perhelatan yang diselenggarakan masyarakat.

Dengan demikian, para senimannya bisa menghidupi anggota keluarganya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pihaknya mencoba menyodorkan alternatif kepada Komite Seni Tradisonal DKP untuk menggarap pementasan ketoprak tidak konvensional, seperti yang sudah dihafal betul oleh masyarakat.

Tujuannya, selain sebagai media apresiasi juga untuk memberikan pengertian kepada seniman kesenian tradisional bahwa seni itu universal. Dengan demikian senimannya tentu dituntut untuk lebih kreatif agar tidak terjebak dalam pola pertunjukan dari itu ke itu.

Sebab, dampak buruk akan dialami grup-grup kesenian tradisional, yakni ditinggalkan para penggemarnya.

Sutradara

Disinggung soal cerita yang mengangkat realitas sejarah Pati pada abad XV, bagi dia dan mungkin juga penonton lain tentu akan menghadapi realitas tentang kemagisan cerita soal Pati.

Cerita yang mengambarkan secara gamblang mengapa Kadipaten Pati Pesantenan waktu itu harus memberontak terhadap Mataram. Karena itu, dia pun mengakui tentang apa yang disebut lakon tuwa.

Sebab, saat menjelang atau berlangsungnya pementasan, muncul kejadian yang sulit dinalar akal sehat, dan itu bukan hal mengada-ada untuk mencari sensasi murahan.

Pada Jumat malam (3/8), misalnya, saat Shima, putri bungsu Ajisoko yang penulis naskah dan juga sutradara cerita "Pati Gugat" mendadak sekujur tubuhnya bergaris-garis merah, seperti bekas orang kalau kerokan. Padahal, sejak sore anak usia TK itu asyik ikut menari untuk sajian tari gambyong parianom.

Meskipun dokter menyatakan infeksi lambung, tapi bocah perempuan itu kembali sehat setelah ditangani "orang tua". Kejadian aneh lain, ketika pementasan dengan durasi empat jam tersebut menjelang berakhir, tepatnya ketika Adipati Pati Wasis Joyokusumo menjelang ajal, setelah terkena tombak Kiai Pleret, piandel Mataram.

Dalam cerita tersebut, Ajisoko juga memerankan Wasis Joyokusumo. Bersamaan dengan luka akibat tusukan tombak tersebut dalam peperangan dengan Panembahan Senopati, di Batur Plalangan, Gunungpati, Ungaran, mendadak turun gerimis, tapi penonton pun tidak banyak yang beranjak.

Anehnya, sekitar 10 menit kemudian atau setelah Wasis Joyokusumo tiba ajalnya, gerimis mendadak reda. "Bagi kami, rintik gerimis yang terasa magis tersebut justru sangat mendukung munculnya suasana haru detik-detik menjelang Adipati itu tiba ajalnya. (Rabu, 08 Agustus 2007)